My life after not living in a corporate world anymore

Sekitar seminggu yang lalu, seorang teman dekat saya bertanya, “hows things in ur life after not being corporate ‘slave’ anymore?”

Hehehe, berat ya pertanyaannya! Teman saya ini cukup spesial. Dulu kami adalah teman sekantor. Dengannya, saya selalu nyaman bercerita tentang banyak hal, dari gosip kantor hingga masalah pribadi, dari hal remeh-temeh ringan seperti remahan rengginang, hingga hal penting yang menguras emosi dan bikin pening.

Ini bukan pertama kalinya saya ditanya bagaimana hidup saya setelah saya tidak berkarir di perusahaan besar/korporasi atau menjadi seorang karyawan (karyawan ya, bukan ‘budak’ perusahaan. Kalau budak kan tidak dibayar dan tidak bisa mengatakan ‘tidak’. Nah, seingat saya, saya kerap mengatakan ‘tidak’ selama saya bekerja dan bayarannya yang saya terima lumayan lah untuk bisa jalan-jalan sekali dua dan untuk menabung).

Di awal-awal kepindahan saya ke Berlin, beberapa teman lain dan keluarga saya juga pernah bertanya tentang hal ini. Tapi saat ini, setelah dua tahun lebih tidak hidup di dunia korporasi, mungkin saya bisa menjawab dengan lebih proporsional.

Seperti halnya jawaban diplomatis para selebriti atau politisi, jawaban saya: pastilah ada ups and downs-nya!

Up.. up.. and away!

Dalam kasus saya, sejauh ini, lebih banyak ups-nya. Kenapa? Karena memang ini adalah hal yang saya inginkan sejak jauh-jauh hari. Beberapa kali ketika masih bekerja dan ditanya tentang aspirasi karir, saya menjawab bahwa saya mau pensiun dari dunia korporasi di usia 35 tahun. Dan syukur pada Tuhan, saya mendapat kesempatan tersebut. Bahkan lebih dari yang saya bayangkan.

Rencananya, selepas saya menginjak usia 35 tahun, saya ingin hidup di Jogja dan bekerja mengikuti passion saya lainnya, entah menulis, membuat kelas bercerita untuk anak-anak, atau membuka usaha kedai kopi (10 tahun-an yang lalu, tidak terbayangkan oleh saya jika sekarang usaha kedai kopi sangat kompetitif).

Ternyata, saya tidak jadi tinggal di Jogja, tapi bisa merasakan hidup di Berlin. And living a new life; experience new things excites me!

Di bulan-bulan pertama hidup di sini, meski berat momong bayi sendirian (waktu itu kan Kelana masih bayi ya); meski berat tidak bisa berkomunikasi dengan mereka yang tidak bisa atau tidak mau berbahasa Inggris; meski berat dengan beradaptasi di dunia yang berbeda; tapi luapan kegembiraan saya bisa hidup di negeri yang kami impikan ini, mengalahkan semuanya.

Put down the crown

Nah, setelah sekian purnama berbulan madu di negeri baru, ada saat-saat ketika saya tetiba kangen bekerja.

Saya tahu saya kangen terhadap dunia kerja (kantoran) karena sesekali saya masih bermimpi bekerja. Mimpi yang baik kok, bukan mimpi buruk dikejar-kejar target sales atau market share. Hihihi. Pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, perusahaan-perusahaan yang baik, dan teman-teman yang menyenangkan di tempat saya bekerja dahulu, tentunya yang membuat faktor kangen saya berlipat.

Mengapa kangen? Karena sebelumnya, sepanjang belasan tahun saya mendedikasikan diri untuk mengasah otak, menganalisa, belajar hal baru, menemukan dan mengemukakan ide, merealisasikan ide, bekerja dalam tim, dan mengaktualisasikan diri. Setiap hari selama belasan tahun, itu dunia saya, hidup saya di samping keluarga, sahabat, dan hobi.

Saya suka dengan perasaan-perasaan yang saya alami ketika dahulu saya bekerja. Meski pekerjaan sering kali berat dan menantang, tapi jika saya berhasil melaluinya atau mencapai sesuatu, hati rasanya begitu puas; penuh. Seakan saya mendapat mahkota di kepala (dan emas di kantong! Eh).

Tapi, seperti halnya dengan para mantan, kangen tentu bisa saja datang kadang-kadang, namun untuk kembali bersama, itu bukanlah pilihan. Saya sudah move-on. Hihihi.

And I just move-on..

Hari-hari di hidup saya di sini, meski tidak bekerja kantoran, disibukkan dengan mengurus Kelana. Saat ini saya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Oh, betapa hormat saya kepada ibu-ibu dan bapak-bapak rumah tangga yang mengurus anak dan rumah sebagai profesi sehari-harinya (jangan lupakan profesi bapak rumah tangga ya. Profesi itu juga ada loh!). Sebagai ibu rumah tangga yang pernah bekerja (dan menitipkan anak di daycare di kala bekerja), bagi saya, mengurus anak selama 24 jam itu lebih berat. Semua waktu dan energi adalah untuk anak. Jika ingin waktu untuk diri sendiri, aka me-time, harus gantian jaga dengan partner di kala partner tidak sedang bekerja.

Dan di kala pandemi ini, hormat ganda saya untuk para orang tua yang bekerja kantoran tapi harus bekerja dari rumah sambil mengurus anak (yang masih kecil atau yang besar dengan beragam sekolah onlinenya). Hormat ganda berlipat saya untuk mereka yang tanpa partner, seorang diri mengurus anak dan harus bekerja.

Anyway, mengurus Kelana dan menjadi ibu rumah tangga memberikan pencapaian-pencapaian dan kepuasan-kepuasan juga buat saya. Pun dalam menjalani hidup yang serba baru di Berlin ini. Hal ini jelas membuat saya mudah move-on dari hidup di dunia korporasi.

Tapi yang paling membuat saya kembali bersemangat dan menemukan perasaan-perasaan yang serupa dengan ketika saya bekerja, adalah ketika Kelana masuk KITA, dan saya berkesempatan sekolah bahasa/kursus bahasa Jerman dan belajar tentang sejarah, politik, dan kehidupan di sini.

Saya kembali secara intensif belajar banyak hal baru, mengembangkan diri, bersosialisasi dengan “orang-orang dewasa” lainnya, dan menemukan banyak teman baru yang menyenangkan dari latar belakang negara yang beragam.

Rasa puas diri saya temukan ketika saya bisa selangkah demi selangkah membaca, menulis dan berbicara dalam bahasa yang baru ini. Dunia sekeliling saya yang awalnya buram, mulai memperlihatkan diri sedikit demi sedikit; dan saya lebih percaya diri untuk bergabung masuk.

Bersosialisasi dengan teman-teman baru dan belajar hal-hal menarik dari mereka juga memenuhi sisi ‘makhluk sosial’ saya.

Fokus saya saat ini belajar bahasa hingga mahir. Masih panjang perjalanan. Tapi bukan tidak mungkin, ketika bahasa sudah tidak lagi menjadi kendala, nantinya saya kembali ke dunia kerja. Tapi rasanya saya tidak akan kembali lagi ke dunia korporasi.

Karena hidup adalah juga tentang mengeksplorasi diri, mari kita lihat, ke mana lagi saya akan bertransisi.

virtri
Latest posts by virtri (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.