Bagi saya, hidup adalah tentang mengambil pilihan-pilihan, menjalani konsekuensinya sebaik mungkin, mendefinisikan cukup, mengusahakan dan memelihara kebahagiaan.
Di 2018, ada beberapa pilihan besar yang harus diambil. Tiga di antaranya adalah tentang memasukkan Kelana di daycare selama saya kembali bekerja setelah cuti melahirkan, tentang keputusan pindah ke Berlin, dan tentang menjadi stay-at-home mom.
Tentang pilihan daycare untuk Kelana
Alternatif pilihan ketika itu; menyewa baby sitter, meminta bantuan saudara untuk menjaga, atau memasukkannya ke daycare. Yang jelas, menitipkan pada orangtua kami bukan pilihan. Selain tidak ingin merepotkan mereka, orangtua kami berada di Jogja dan Cilacap.
Setelah saya dan Kakilangit berdiskusi cukup panjang menggunakan analisa SWOT segala (hihihi), kami akhirnya memutuskan untuk memasukkan Kelana ke daycare.
Tidak seratus persen ideal memang. Konsekuensi memasukkan Kelana ke daycare tentu saja banyak. Misalnya, bahwa Kelana tidak total diperhatikan setiap detiknya oleh yang menjaga karena satu orang menjaga tiga anak. Bahwa saya harus mempercayakan Kelana yang masih berusia 4 bulan pada waktu itu pada orang-orang lain yang belum saya kenal, dan pada sebuah instansi, dengan semua kebijakan dan perlakuan mereka yang mungkin tidak sama dengan cara saya.
Tapi ketika pilihan itu sudah kami ambil dan putuskan, saatnya saya menerima konsekuensi-konsekuensi tersebut sambil berpikir bahwa itu yang terbaik. Jika satu orang menjaga tiga anak, artinya Kelana harus belajar untuk tidak manja, bahwa dalam hidup tidak selamanya berpusat pada dirinya, ada orang lain yang harus diperhatikan. Dan saya juga belajar untuk mempercayai orang lain lebih lagi selama Kelana di daycare. Lagipula, di daycare penjaganya banyak, jadi bisa saling membantu dan mengawasi satu dengan lainnya. Beda halnya dengan baby sitter.
Kekhawatiran-kekhawatiran saya yang aneh-aneh pun banyak yang tidak terjadi. Selama di daycare, Kelana sehat, cukup tidurnya, cukup pupnya, cukup (keras) tangisannya sehingga cukup terkenal di daycare (hihihi, kencangnya tangisan sih dari lahir sampai sekarang ya), dan cukup gembiranya sepanjang hari. Saya sangat menikmati aktivitas membaca buku laporan harian yang disediakan daycare setiap saya habis menjemput Kelana.
Tentang pilihan pindah ke Berlin
Saya sudah menulis banyak tentang pindahnya kami ke Berlin di blog ini sebelumnya. Tentang awalnya, tentang prosesnya, dan tentang luapan emosi bahagia yang ada. Namun yang belum saya tulis adalah tentang konsekuensi akan pilihan pindah ke Berlin.
Bahwa pindah ke Berlin memiliki konsekuensi jauh dari keluarga saya dan keluarga Kakilangit, keluarga kami – tempat kami pulang. Konsekuensi jauh dari sahabat-sahabat tempat melepas tawa sekaligus penat, yang disisipkan di antara sesapan kopi sepulang kerja atau di akhir pekan. Konsekuensi rindunya lidah kami pada cita rasa selera nusantara, lengkap dengan layanan jasa antarnya. Dan oh satu lagi, rindunya kami pada pijatan tradisional Jawa dan Bali, dengan harga yang masuk akal.
Konsekuensi-konsekuensi ini cukup berat, tapi kami cukup bisa menjalaninya sejauh ini.
Video call yang rutin dengan keluarga menjadi obat pelepas rindu, selain menjadi pemerhati postingan media sosial tiap anggota keluarga.
Dengan para sahabat juga demikian. Dan betapa Tuhan maha baik, di tahun pertama kepindahan kami ke Berlin, sabahat-sahabat saya (mengupayakan dan) mendapatkan kesempatan mengunjungi kami di sini. Ah, bahagia sekali rasanya.
Yang agak berat memang tentang makanan ya. Saya (dan Kakilangit) yang hampir tidak pernah memasak ini dan selalu beli atau makan di luar rumah, pun jika malas ke luar bisa dimanjakan dengan layanan antar online, harus mulai belajar dari nol untuk menghidangkan cita rasa nusantara di meja makan kami. Kami sebenarnya bisa saja makan apa saja, tapi lidah tidak bisa berdusta, Ferguso! Nafsu makan kami liar jika bertemu dengan makanan Indonesia.
Perlahan namun pasti, ya sudah lumayan lah hidangan2 yang ada setiap harinya sekarang. Apalagi para sahabat yang datang selalu meninggalkan resep makanan yang mereka buatkan untuk kami selama mereka di sini. Tambah jagolah awak untuk masak! Hehehe.
Mengenai pijat, ah sudahlah, tidak usah panjang dibicarakan. Nanti saja ketika ada kesempatan pulang ke Indonesia, kami bercita-cita untuk sering-sering pijat. Iya, sering. Kalau bisa yang layanan empat tangan! Dua di kepala, dua di badan. Duh, sudah terbayang.
Tentang pilihan menjadi stay-at-home mom
Setelah bekerja 12 tahun lebih di dunia korporasi, menjadi stay-at-home mom, ibu penuh waktu menjadi tantangan tersendiri untuk saya. Tidak mudah! Banget!
Konsekuensi menjadi ibu penuh waktu (di Berlin – yang artinya tidak punya asisten) buat saya adalah harus memiliki fisik yang kuat karena harus bisa menjaga Kelana dan mengurusnya seorang diri sepanjang hari (kalau malam bisa gantian dengan Kakilangit). Mengangkat, menggendong, bermain, lari-larian, menidurkan, menyusui, memberi makan (dan memasak juga menyiapkan makanannya), memandikan, menenangkan jika dia nangis, dan masih banyak aktivitas lainnya.
Ya semacam bermain sirkus lah. Hehehe. Tidak heran jika saya bertambah banyak dan sering makannya, bukan. Dan ketika saya banyak asupannya tapi tidak menjadi daging, tentu itu karena untuk bermain sirkus banyak energi yang dikeluarkan. Neraca pemasukkan dan pengeluaran seimbang!
Konsekuensi lainnya tentu saja harus memiliki emosi yang stabil dan kesabaran tiada batas, yang lebih luas dari samudera. Kelana adalah bos kecil lucu yang keinginannya sulit diketahui tapi minta selalu dituruti. Jadi, setiap harinya buat saya adalah seni untuk mengerti Kelana lebih mendalam. Dan saya masih belajar banyak untuk ini. Untungnya Kelana anak baik dan cukup pengertian sama ibunya.
Konsekuensi lainnya yang cukup berat buat saya adalah untuk berkurang drastisnya adults talk sehari-hari. Maksudnya, saya terbiasa untuk berkomunikasi intensif dua arah, dalam pekerjaan, dengan teman-teman, dan dengan Kakilangit. Saya super cerewet (harus saya akui hal ini) dan saya senang bercakap-cakap dengan teman-teman saya (yang kebanyakan juga cerewet).
Dengan menjadi ibu penuh waktu, di kala Kakilangit bekerja, teman saya bercakap-cakap adalah Kelana. Tapi dia bukanlah orang dewasa (jangan cepat-cepat juga sih, masih senang menikmati Kelana kecil). Inilah yang membuat saya masih aktif bermedia sosial, terutama jika Kelana sedang tidur, atau bergaul di taman dengan ibu-ibu lain sambil menemani Kelana main. Hal ini bertujuan untuk menyalurkan kuota kata-kata saya dalam sehari, hehehe. Dan ketika Kakilangi pulang kerja, saya mengoptimalkan waktu bercakap-cakap dengannya.
Saat ini, cukup
Terlepas dari konsekuensi-konsekuensi di atas, konsekuensi positif atas pilihan-pilihan saya di 2018 yang saya rasakan jauh lebih besar. Saya merasa cukup saat ini.
Standar cukup tiap orang berbeda dan saya menghargai setiap pilihan masing-masing akan rasa cukupnya.
Ada yang merasa cukup dengan pendidikan terakhirnya sekarang, cukup dengan posisi kerjaannya saat ini tanpa perlu harus naik jabatan lagi, ada yang merasa cukup hidup sendiri tanpa pasangan, ada yang merasa cukup menikah tanpa harus punya anak, ada yang merasa cukup memiliki satu anak, dua anak, atau selusin anak, ada yang merasa cukup untuk tinggal di rumah orang tua, ada yang merasa cukup tinggal di kost, di rumah sewa, di rumah sendiri, cukup dengan naik kendaraan umum, cukup memiliki sepeda, sepeda motor, mobil satu, dua atau dua puluh. Dan seterusnya dan seterusnya.
Pun saya menghargai perasaan tidak cukup dalam hal untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Saat ini saya bersyukur dicukupkan untuk kami bisa tinggal di Berlin dengan nyaman. Betapa Tuhan dan semesta berbaik hati memberi dan menyediakan yang kami perlukan. Saya bahagia sekali bisa hidup di kota ini. Suasananya, manusianya, kebijakan pemerintahnya, lingkungannya, tamannya, hiburannya, kejutannya; ini kota yang saya dambakan. Begitu hidup, tidak sempurna namun kaya rasa dan budaya! Dan tinggal di sini artinya bisa jalan-jalan ke destinasi negeri-negeri impian dengan lebih dekat dan murah! Yeay!
Saat ini saya merasa cukup dengan peran saya sebagai ibu penuh waktu untuk Kata Kelana. Mungkin kelak, saya akan mencoba peran baru sebagai ibu paruh waktu dan mencoba berkarya ketika Kelana menjalani perannya sebagai anak paruh waktu (dan murid sekolah paruh waktu, hehehe). Kita lihat nanti ya.
Saya juga merasa cukup dengan memiliki anak satu saja (semoga Tuhan mengijinkan). Tulisan ini juga untuk menjawab mereka yang kerap bertanya tentang adiknya Kata Kelana, hehehe. Saya sadar akan kapasitas saya menjadi seorang ibu (salut dari saya untuk mereka yang memiliki anak lebih dari satu). Oh iya, adiknya Kelana sudah ada. Ada 3 bahkan (itu loh, keponakan-keponakan saya dari adiknya Kakilangit).
Bahagia. Lagi-lagi, ukurannya beda-beda. Standar bahagia saya sangat rendah. Hal-hal sederhana bisa membuat saya bahagia. Itu menyebabkan tidak sulit bagi saya mengusahakan kebahagiaan. Dan pilihan-pilihan saya di tahun 2018 membuat saya bahagia.
2019
Sudah 2019 sekarang! Saya menulis di 2018, berakhir di 2019. Menulis satu postingan kok setahun! Hihihi.
Entah pilihan-pilihan apa yang disediakan hidup di 2019.
Tidak ada resolusi spesifik yang saya buat untuk tahun 2019. Saya mau menjadi lebih baik, itu saja. Dalam multi peran saya: sebagai manusia, perempuan, sahabat berjuta musimnya Kakilangit, ibunya Kata Kelana, sebagai anak, adik, kakak, sahabat, teman, bulik, budhe, tante, warga negara, penduduk, atau sebagai orang tak dikenal.
Seorang Virtri yang lebih baik dan yang bahagia.
- Tato - 28 February 2024
- Pandemi berakhir! - 22 July 2023
- Rutinitas Baru - 19 June 2023