Sebagai seorang manusia yang terbiasa menjejakkan kaki di bumi dan hidup di daratan indah ciptaan Tuhan ini, seringkali terbersit di dalam hati keinginan untuk terbang ke langit layaknya seekor burung, atau berenang-renang di air bagaikan ikan.
Baru-baru ini, keinginan-keinginan itu tercapai! Saya akhirnya mencoba terbang menggunakan paralayang minggu lalu dan beberapa kali sudah saya menyelam karena sertifikat ‘open water’ sudah di tangan! Yiihhhaa!
Melayang Seperti Burung
Rencananya saya dan beberapa teman ingin memanfaatkan akhir pekan lalu untuk naik gunung. Ternyata oh ternyata, Gunung Gede sedang ditutup bulan Januari hingga akhir Maret dalam rangka penghijauan kembali. Batal naik gunung, Kakilangit, sahabat saya, melontarkan ide untuk mencoba paralayang atau terkadang disebut paragliding. Saya langsung mengangguk-angguk setuju meski hati berdebar kencang membayangkan ketakutan saya berada di ketinggian.
Kami berangkat dari Jakarta sekitar pukul 6 pagi menuju puncak, tepatnya ke Bukit Paralayang. Berbekal info dari internet, letak Bukit Paralayang tak jauh dari Masjid Atta’awun yang cukup besar. Setelah berhenti sejenak untuk sarapan makan Bubur Ayam Cianjur yang tentu saja nikmat, kami akhirnya sampai sekitar pukul 8 di Bukit Paralayang.
Memasuki area tempat penerbangan, tanda larangan merokok menyambut. Ya, bisa dibayangkan sih betapa riskannya ketika api dari puntung rokok membakar parasut. Karena masih pagi, belum banyak orang yang ada di sana. Cuaca juga sedang cerah dan terlihat 1-2 orang Paraglider bersiap-siap untuk terbang.
Meski hati masih berdegup, bayangan akan asyiknya berada di udara dengan pemandangan yang luar biasa menakjubkan, membuat kami meneguhkan hati untuk mendaftar mencoba tandem paralayang. Iya, jika kita belum memiliki sertifikat, kita hanya bisa terbang tandem. Biaya sekali tandem paralayang per orang 300.000 rupiah. Jika kita bareng dengan 3-4 orang teman, harganya bisa lebih murah sekitar 250.000 rupiah. Sambil menanti master-master paralayang yang akan menani kami terbang, foto-foto pun dilakukan dengan tujuan menenangkan hati 🙂
Saat yang dinantikan tiba! Sambil sang master memasangkan helm dan rompi lalu mengencangkan sabuk pengaman, dia memberi penjelasan (sangat) singkat tentang apa yang harus saya lakukan sebelum dan selama terbang. Tidak ada 3 menit, saya langsung diminta untuk jalan beberapa langkah, kemudian lari beberapa langkah lagi menuju ke landasan tebing nan curam, lebih kencang dan….. saya terbang! Up.. up… and away!
Tidak ada 10 menit saya berada di angkasa, namun rasanya memang luar biasa! Saya berhasil mengalahkan ketakutan saya pada ketinggian. Dan yang lebih penting, saya bisa menikmati terbang bagaikan burung di udara. Kulit saya bisa merasakan angin yang berhembus dan hangatnya sinar matahari tanpa kaki menjejak ke tanah. Puas rasanya!
Menyelam Seperti Ikan
Semua berawal dari sekali waktu saya mencoba menyelam di Gili Air, Lombok. Saya terpana akan keindahan bawah laut negeri kita tercinta ini. Saya cinta berenang dan saya sering snorkeling, namun menyelam memberikan sensasi tersendiri. Pemandangan bawah laut jauh lebih indah ketika kita menyelam dibandingkan snorkeling.
Oleh karenanya, saya bertekad untuk mengulangnya lagi dan lagi dan mengambil sertifikat selam agar bisa lebih leluasa menyelam di mana pun. Dan saya berhasil memperolehnya akhir tahun lalu dari PADI. Seneng deh!
Saya beruntung memiliki teman-teman seru yang memiliki kesukaan yang sama. Menamakan diri sebagai AHA Travelers – yang beranggotakan saya, kakilangit, deeramli, dan matriphe – kami berencana untuk menyelam lebih sering dan lebih lihai supaya kami bisa sampai ke berbagai sudut di bawah lautan nan cantik yang dimiliki Indonesia.
Berbahagialah hai mereka yang tinggal di Jakarta dan suka menyelam. Kita punya Kepulauan Seribu yang hanya berjarak sekitar 2 jam dan bisa digunakan sebagai tempat membiasakan diri untuk menyelam lebih baik dan lebih baik lagi dengan pemandangan yang cukup cantik.
Sekitar satu bulan yang lalu, saya dan teman-teman AHA ke Pulau Pramuka. Pulau ini termasuk pulau yang besar dan ramai dan memiliki beberapa pusat selam. Meski ramai, tidak berarti kita tidak bisa menikmati pulau. Pemandangan yang dihadirkan yang terlihat dari pulau tetaplah memuaskan mata.
Namun tujuan kami jelas, kami tidak hanya ingin menikmati pulau, kami ingin menikmati pemandangan di bawah lautan biru. AHA Travelers saat ini masih tergolong proletar yang hampir semua perlengkapan selamnya masih kami sewa, belum kami miliki sendiri. Kami hanya berbekalkan modal sertifikat selam, beberapa uang receh, dan modal percaya diri tentunya 🙂
Waktu untuk sekali penyelaman berkisar 45-60 menit. Namun waktu di dasar laut sepertinya tidak sama dengan di darat. Waktu tidak berjalan, ia berlari. Menyelam bagaikan ikan, buat saya seperti berada di dunia yang berbeda. Iya, seperti berada di kerajaan yang dipimpin oleh Dewa Neptunus yang memiliki rakyat berbagai jenis makhluk laut yang cantik memukau. Saya benar-benar ketagihan menyelam, menjadi salah satu warga kerajaan laut!
Permata Khatulistiwa
Menikmati cantiknya Indonesia dengan melayang di atas udara atau dengan menyelam di bawah laut, tak akan pernah membuat saya bosan. Negeri ini sangat cantik, terlalu cantik. Banyak orang yang jatuh cinta berulang kali pada keindahan negeri ini; saya salah satunya.
- Tato - 28 February 2024
- Pandemi berakhir! - 22 July 2023
- Rutinitas Baru - 19 June 2023
Wwhhhooooaaaaaaaaaahhhh!
mbak punya alat selam bekas gk ya..??? kasih info donk..!! soalnya di medan susah banget nyarinya 🙂
@ryo, cari di kaskus aja 🙂 atau kalau mau baru dan murah (karena sering promo) coba lautan mas atau alatselam.com