BIP BIP
Telepon selularku berbunyi pelan tanda ada pesan pendek masuk. Sambil tetap berjalan menuju kotak mungil tempat kerjaku, kubuka pesan itu.
“Selamat pagi. Sekali lagi makasih ya, San! Kamu memang malaikatku!”
Pesan dari Mbak Kanti rupanya. Aku menggantikan shift kerjanya hari ini setelah dia membujukku mendadak tadi malam selagi kita bersiap pulang. Tanpa ia bujuk, sebenarnya aku akan dengan senang hati menggantikannya. Bukan, bukan karena aku suka bekerja keras di hari yang seharusnya aku libur. Hanya saja, Mbak Kanti bercerita ia ingin mengajak anak-anaknya yang libur di Hari Libur Imlek ini. Mereka ingin pergi ke Ragunan katanya. Aku bisa membayangkan wajah-wajah anak-anak Mbak Kanti ketika bertemu dengan hewan-hewan di sana. Mereka pasti bersorak-sorak kegirangan.
“Sama-sama, Mbak. Semoga jalan-jalannya seru yah! Salam buat Kaka & Kiki” kubalas pesan pendek itu.
Jam menunjukkan pukul 5 dini hari. Musim hujan di bulan Januari ini menghasilkan angin kencang di pagi hari yang kerap menyusup sendi-sendi, membuat gigi-geligi tak jarang bergemeletuk. Pak Tono sepertinya sudah berbenah, siap untuk kugantikan.
“Gong xi, Pak Tono! Ada angpao buat saya?”
“Hahahaha, jika saja uang-uang logam ini bisa saya berikan buatmu, San!”
“Yang kertas juga boleh kok, Pak!”
“Ah, sayangnya saya belum jadi pejabat, saya masih takut korupsi. Hahahaha! Ngomong-ngomong, kok kamu masuk, bukannya Kanti yang tugas?”
“Kami tukeran, Pak”
“Oh, baiklah. Mari, saya pulang dulu.”
“Mari, Pak!”
Pak Tono pun pulang dan aku duduk menggantikannya.
Pak Tono, Mbak Kanti, Bu Rini, Bu Eka, Mas Deri, mereka semua orang-orang baik. Selalu menyemangatiku untuk mencari pekerjaan lain. Sayang dengan ijazah. Demikian ujar mereka. Ah, siapa yang tidak mau pekerjaan yang lebih baik. Lamaran demi lamaran sudah aku kirimkan, staf keuangan atau akuntan adalah tujuanku. Namun belum juga ada panggilan. Rasanya sudah ratusan jumlahnya lamaran yang kukirim. Sepertinya persaingan di ibukota ini begitu ketat. Apalah artinya ijazah D3 dibandingkan S1? Ketika para sarjana itu banyak sekali yang menganggur, aku hanya bisa bersyukur bahwa aku masih bisa bekerja meski hanya sebagai petugas pintu tol. Setidaknya aku bisa mengirimkan sedikit bantuan untuk adik-adikku sekolah di Solo setiap bulannya.
Satu kali, aku pernah menonton film lepas While You’re Sleeping yang dibintangi Sandra Bullock. Di situ ia berperan sebagai petugas loket di stasiun kereta. Nama kami sama-sama Sandra, sama-sama petugas loket, satunya loket kereta api, satunya loket tol. Namun Sandra yang itu di kehidupan sehari-harinya adalah pemain film yang kaya, sedangkan Sandra yang ini ya benar-benar petugas loket tol yang hidupnya berkecukupan, cukup untuk hari ini, entah untuk esok hari. Hihihi.
“Maaf, kurang 500, Bu!” sepertinya ibu ini masih mengantuk.
“7500 ya, bukan 7000?” tanpa memandang, sambil bergumam sendirian, si ibu memberi kekurangan 500nya. Kemudian melaju lagi.
Aku sih tidak ingin untuk jadi aktris, rasanya tidak ada bakatku untuk itu. Cita-citaku hanya ingin bekerja di kantor, menjadi pegawai kantoran. Itu saja. Itu sebabnya semangatku untuk mengirim lamaran demi lamaran belum pudar.
Aku masih saja tertarik dengan penampilan-penampilan rapih mereka yang bergegas setiap paginya untuk berangkat ke kantor. Aku kemudian membayangkan rasanya bekerja di kantor dan berpenampilan serupa dengan mereka. Ah, pasti menyenangkan sekali.
Berurusan dengan tumpukan berkas-berkas keuangan yang harus diperiksa seperti yang kupelajari di bangku kuliah, bukan hanya duduk di belakang meja dengan tumpukan uang yang kuterima dari pengguna jalan untuk kuserahkan di akhir jam kerjaku.
Menulis, mengetik, menghadiri rapat, atau melakukan hal-hal yang dinamis, bukan hanya menerima uang dan menukarkannya dengan secarik kertas putih dan uang kembalian jika perlu.
Dan yang paling menyenangkan dari kerja kantoran adalah memiliki ruangan kerja yang luas lengkap dengan pendingin ruangan, bukan ruangan berukuran 1x2m yang panas dan berdebu ketika hari sedang gerah-gerahnya, dan dingin ketika hujan dan badai menerpa.
Oh ya, satu lagi. Memiliki banyak teman kantor yang berada dalam satu ruangan kerja, tidak bosan sendirian seperti ini.
Matahari pagi sudah mulai tinggi, Bapak dan Ibu di kampung pasti sedang sibuk-sibuknya melayani para pembeli di pasar saat ini. Mengingat Bapak Ibu membuatku terhenyak.
Sepertinya barusan aku mulai mengeluh. Aku malu. Pesan mereka hanya satu, aku tidak boleh mengeluh, harus lebih banyak bersyukur. Mereka benar, meski hidup di kota ini membuat banyak sekali hal yang bisa dikeluhkan, namun sebenarnya lebih banyak lagi hal yang bisa disyukuri.
“Gong xi gong xi, selamat pagi para pendengar sekalian! Apa kabar Jakarta di pagi hari imlek ini? Sudah siap dengan baju merah?”
Suara penyiar radio mulai menyapa. Benar, aku tidak sendirian bekerja di hari libur ini. Mereka juga menjalankan tugasnya untuk menghibur mereka yang sedang berlibur. Para penyiar ini juga menjadi teman-temanku setiap harinya. Dalam kotak mungilku ini, meski secara fisik aku sendirian, tapi mereka membuatku merasa ditemani. Mereka hadir dengan percakapan-percakapan seru nan gila yang membuatku tak jarang hanyut dan tergelak.
“Terima kasih!”
Seorang perempuan berwajah ramah tersenyum menerima secarik kertas yang kuberikan sebagai ganti uangnya yang kuterima.
Ya, aku memang belum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku masih berjuang untuk itu. Tapi pekerjaanku saat ini juga tidak jelek. Aku bisa bertemu dengan ratusan, bahkan ribuan orang setiap harinya. Aku bisa melayani mereka dan berdoa buat keselamatan mereka di jalan. Mereka yang memiliki beragam raut wajah. Dari yang marah dan mencaci, terutama di saat-saat kenaikan tarif tol, hinga mereka yang ramah dan murah memberikan senyum di saat aku butuh semangat; seperti perempuan yang berada di depanku saat ini.
“Hati-hati di jalan, Mbak!”
(Jakarta, Imlek 2563)
- Tato - 28 February 2024
- Pandemi berakhir! - 22 July 2023
- Rutinitas Baru - 19 June 2023