Destinasi perjalanan menuju ke timur kami awali dengan trekking ke Gunung Ijen untuk menyaksikan Kawah Ijen dan Api Biru yang legendaris itu (terdengar seperti gas elpiji ya kalau disebut si Api Biru).
Dari Jakarta, kami naik pesawat dengan harga promo (tentu saja!) ke Surabaya, lalu lanjut ke Banyuwangi dengan naik kereta Mutiara Timur. Di Stasiun Gubeng kami menanti kereta ditemani dengan kelompok pemusik stasiun yang masih saja hangat, menyapa para penumpang lalu mengingatkan jika kereta akan tiba. Ramah yang sama yang saya temui sekitar 6 tahun lalu sewaktu saya tinggal di Surabaya.
Kami dijemput Mas Yudi dari @trans2ijen di stasiun kereta Banyuwangi. Sudah sore dan kami disambut hujan lebat. Setelah menyicipi Rujak Soto, makanan khas Banyuwangi, kami langsung naik ke Ijen menuju penginapan kami, Catimor Homestay. Iya, kami memang tidak berniat berkemah di area perkemahan Paltuding, kami sadar usia, hahaha.
Tepat tengah malam, setelah kami beristirahat sekitar 3-4jam, kami berkemas. Kami naik Jeep ke Pos Paltuding. Jarak dari penginapan kami ke Paltuding sekitar 1 jam. Sesampainya di sana, langsung banyak orang mengerubuti kami, mereka menawarkan jasa pemandu. Tapi karena kami bersama Mas Yudi, kami tidak menggunakan jasa mereka. Kami hanya membayar Rp. 2000 per orang sebagai biaya masuk kawasan wisata. Coba bayangkan, 2000 rupiah saja, saudara-saudara! Harga 2 buah gorengan di Jakarta (di beberapa tempat bahkan cuma dapat 1 gorengan). Harusnya harganya bisa lebih ditingkatkan demi pelestarian kawasan wisata dan membantu penduduk setempat.
Sekitar jam 1.30 pagi kami mulai mendaki. Ini adalah pendakian gunung pertama saya (saya tidak pernah menghitung Bromo sebagai pendakian gunung) setelah tahun lalu pemanasan naik Ananda Hill di Nepal dengan ketinggian 1100 mdpl.
Di beberapa artikel yang saya baca di hari sebelumnya mengatakan bahwa medan yang ditempuh lumayan kemiringannya, sekitar 30-45 derajat. Ketika saya menjalaninya, masya ampuuunnn, di beberapa titik, kemiringannya mencapai 60 derajat. Capek bener. Hosh hosh.
Untuk mencapai puncak, jarak jalur pendakian adalah 3 km. Kami menempuhnya selama 1.5 jam. Saya pikir itu adalah 1.5 jam tercape saya. Kami bertiga (faktor utamanya tentu kami berdua, Mas Yudi sih hebat) sering kali berhenti mengatur nafas yang mulai meninggalkan kami. 6 bulan belakangan ini, kami sering main pingpong. Buat saya, main pingpong 10 set, ga ada apa-apanya capenya dibanding ini. Fiuh, hosh hosh.
Jika saya sedang capek, saya mendongakkan kepala ke atas. Ada jutaan bintang di langit malam itu. Iya, seneng deh, tidak pernah saya temukan bintang bertabur sebanyak ini di langit.
Kami sampai di puncak jam 3 subuh. Langit masih pekat. Dari kejauhan kami melihat cahaya api biru a.k.a. Blue Fire yang menjadi salah satu tujuan kami ke sini. Blue Fire itu ada di bawah, percikan dari belerang di Danau Ijen.
Jika kami ingin melihat lebih dekat, kami harus turun lewat tebing bebatuan yang terjal (terjal di sini benar-benar hingga kemiringan 70-75 derajat dan sempit) sejauh 800m. Awalnya saya enggan karena capek bukan kepalang dan melihat medan terjalnya, saya sedikit khawatir. Di jalanan lurus dan licin aja saya sering tiba-tiba jatuh, apalagi di medan seperti ini.
Tanggung. Itu yang kemudian melintas di benak saya. Toh sudah sampai di sini. Setelah 3 km, 800 m lagi masa ga bisa. Lagipula, jika berdiam diri di puncak, angin kencang cukup membuat menggigil, harus bergerak. Kakilangit juga semangat banget lagi untuk ke bawah. Akhirnya, kami pun melaksanakan niatan kami tersebut.
Harus hati-hati benar jika kita menuruni medan curam ini. Sesekali kami berhenti jika berpapasan dengan penambang belerang yang hebat-hebat. Iya, harus berhenti karena jalanan sempit dan kita harus mendahulukan mereka. Mereka yang sedang membawa pikulan berisi belerang seberat 60 – 90 kg di pundak mereka. Saya yang tidak membawa beban saja kesulitan mencari batu mana yang harus saya pijak, ini mereka membawa beban seberat itu demi mencari makan.
Berbicara mengenai para penambang belerang ini, harusnya pemerintah lebih bisa memperhatikan kesejahteraan mereka. Pasalnya, pekerjaan ini berbahaya sekali dan belerang per kilonya hanya dijual Rp. 800 – 1000. Harusnya ada teknologi yang canggih yang bisa membantu mereka dan tidak membahayakan nyawa mereka dalam bekerja. Syukurlah kami dengar dari Mas Yudi bahwa Dinas Pariwisata perlahan mulai mengajarkan mereka bahasa inggris supaya mereka bisa jadi tour guide saja.
Kembali ke perjalanan saya, akhirnya setelah sekitar 45-60 menit turun, kami sampai di bawah untuk melihat Blue Fire lebih dekat. Cantik! Meski asap belerang sedang cukup pekat. Blue Fire memang seperti pita biru yang menari kian kemari dikelilingi dengan cahaya putih kuning belerang yang sedang diambil oleh para penambangnya.
Waktu bergulir dan kami harus bergegas ke atas jika ingin menyaksikan matahari terbit dari puncak. Kami pun balik menaiki kembali tebing curam berbatu itu. Sesampainya di puncak, ketika terang sudah mulai membayang, kami melihat papan yang bertuliskan “Berbahaya! Dilarang turun ke bawah” Ups! Papan pengumuman ini harusnya memiliki tulisan dengan bahan glow in the dark supaya kami dan pengunjung lainnya bisa membacanya di saat malam.
Pagi datang, sinar matahari pagi muncul perlahan di balik pegunungan membentuk siluet jingga panjang membentang. Api biru sudah hilang ditelan cahaya, ganti terlihat warna hijau toska dari danau belerang Kawah Ijen ditemani kepulan asap putih.
Aaahh, begitu mudah bersyukur pada Yang Kuasa atas cantiknya negeri yang Ia berikan. Sejauh mata memandang, hanya bisa terucap kata-kata: cantik, indah, menawan, menakjubkan. Selamat pagi dari ujung timur Pulau Jawa.
- Tato - 28 February 2024
- Pandemi berakhir! - 22 July 2023
- Rutinitas Baru - 19 June 2023