“Tempat terbaik mendapatkan matahari terbit”
Dari beberapa artikel yang kami temui di internet, banyak yang menyarankan untuk mendapatkan matahari terbit di Kelimutu. Gunung dengan ketinggian sekitar 1639 mdpl yang memiliki 3 buah danau sangat mempesona dinikmati di saat fajar. Demikian ujar mereka.
Itu mungkin benar. Tapi menjadi masuk akal jika kami bermalam di daerah Moni yang dekat sekali dengan Kelimutu, dan bukan di Ende. Jarak Ende ke Kelimutu sekitar 60 km. Kami menyewa motor, bukan mobil, dan kami tidak tahu medan ke Kelimutu. Akan sangat berbahaya jika kami naik ketika hari masih gelap. Kami masih sayang nyawa karena kami masih ingin jalan-jalan ke berbagai tempat, hehehe.
Di hari ke-9 jalan-jalan kami, sekitar jam 7 pagi setelah sarapan kami berangkat dari penginapan kami di kota Ende. Rutenya tidak sulit jika dari kota. Lurus-lurus saja dan hanya ada satu jalan mengarah ke Kelimutu. Perjalanan sangat menyenangkan karena kami berangkat bersama-sama dengan anak-anak yang berangkat sekolah. Jalan pun sepi, hanya satu dua mobil atau motor yang berpapasan dengan kami setiap beberapa menit. Lebih sering kami yang menguasai jalan, hanya kami dan pemandangan indah yang terhampar.
Pemandangan menuju ke puncak Ende memang sangat indah. Di jalan yang meliuk-liuk itu kita akan disajikan gunung di satu sisi dan jurang di sisi lainnya. Di dinding gunung, banyak bisa dijumpai air terjun, sedangkan di jurangnya ada kali yang mengalir yang bisa kita lihat, lengkap dengan bebatuan cantik yang menemani air jernih mengalir. Hewan-hewan ternak hingga kuda juga banyak ditemui di pinggir jalan. Awas, hati-hati juga dengan kotorannya. Dan yang lebih harus diwaspadai, beberapa titik rawan longsor. Batu-batu berdiameter 1 meter pun bisa longsor ke jalan raya.
Ada yang unik dari rumah-rumah penduduk yang ada di sepanjang jalan. Rumah mereka sederhana, biasanya terbuat dari kayu, tapi hampir di tiap depan rumah mereka, baik di teras maupun di halaman depannya, akan kamu temui bangunan kecil berukuran 2×1 meter yang bagus yang terbuat dari keramik. Ya, kuburan! Saya sempat bercakap-cakap dengan Alex, anak kecil yang kami temui ketika kami berhenti sejenak, dia katakan itu adalah kuburan neneknya di depan rumahnya. Begitu rupanya cara mereka menghormati keluarga mereka yang sudah tidak ada.
10 km terakhir sebelum sampai di gerbang Taman Nasional Kelimutu jalanan menyempit dan lebih terjal, tapi lebih cantik karena sekarang jalanan dihiasi bunga edelweis dan bunga lonceng.
Setelah kurang lebih 2 jam, kami tiba di gerbang pintu masuk untuk membayar tiket masuk yang lagi-lagi hanya Rp. 2,500 (kayaknya sama semua di mana-mana). Tapi menurut bapak penjaga tiket, sebentar lagi tarif masuk akan naik. Baguslah.
Dari gerbang ke tempat parkir berjarak sekitar 2 km-an lagi. Pagi itu hanya terlihat 2 mobil dan 3 motor terparkir. Tanpa berlama-lama, kami pun segera jalan kaki menuju ke Danau Kelimutu. Jalanan menuju ke sana sudah tertata apik. Sebentar saja berjalannya, lalu kita akan disuguhi area luas dan sedikit menanjak tempat ketiga danau tersebut berada.
Ada 2 titik untuk melihat kecantikan danau-danau tersebut. Di titik pertama, kita hanya bisa menyaksikan Danau Atapolo dari dekat dan sedikit penampakan dari Danau Nuamuri Koofai. Danau Atapolo saat itu berwarna coklat pekat kemerahan. Baru sekali ini saya menemui danau berwarna demikian. Warnanya kuat, seakan menghisap jiwa.
Jika ingin melihat ketiga danau, kita harus ke titik kedua dan melewati anak tangga yang cukup panjang. Ada monumen kecil di sana. Ada 3 orang penjaja pop mie, snack, dan minuman hangat juga yang bisa memberikan suguhan pas sambil menikmati indahnya tiga danau itu.
Di titik kedua itu barulah Danau Nuamuri Koofai terlihat jelas. Warnanya saat itu hijau toska. Cantik. Dia dikenal juga dengan sebutan Danau Muda-Mudi karena permukaannya yang masih bergejolak. Ya, seperti gejolak emosi muda-mudi gitu.
Danau ketiga, yang baru bisa dilihat di titik kedua ini, bernama Danau Mbupu. Warnanya saat itu sedang biru. Danau itu dikenal juga dengan nama Danau Orang Tua karena dia lebih tenang. Oh iya, Danau Atapolo yang saya sebutkan pertama tadi, dikenal juga dengan Danau Arwah Orang Jahat. Mereka percaya bahwa arwah mereka Pada saat kami di situ, warnanya sih sangat sesuai ya jika disebut demikian, warnanya menakutkan.
Hijau toska, coklat kemerahan dan biru kehijauan. Itu adalah warna ketika kami ke situ pada hari itu, pada pagi itu. Karena warna ketiga danau di situ memang kerap berganti-ganti tanpa ada pola yang jelas karena keunikan belerang yang dimilikinya. Elias dari Maumere, teman baru yang dengannya dan dengan ketiga orang lainnya kami berkenalan, mengatakan bahwa 3 bulan lalu dia ke sini, Danau Mbupu yang saat ini berwarna biru kehijauan 3 bulan lalu berwarna hitam.
Luar biasa ya! Betapa negeri ini sungguh dicintai Ilahi! Danau tiga warna yang berganti warna setiap waktu ini hanya ada di bumi pertiwi!
Sambil menikmati keindahan ketiga danau yang berwarna-warni dengan menyeruput kopi hitam jahe panas khas Ende dan bercakap-cakap dan bersenda gurau dengan teman-teman baru, sang ibu penjual berkata: “Kalian beruntung datang jam segini. Tadi subuh gelap hingga terang, kabut tebal, tidak terlihat matahari terbit dan danau pun sulit dilihat dari sini!”
Ternyata tidak selamanya danau ini indah pada saat fajar menjelang. Tergantung cuaca, doa dan dewi fortuna rupanya.
- Tato - 28 February 2024
- Pandemi berakhir! - 22 July 2023
- Rutinitas Baru - 19 June 2023