Jakarta macet? Perjalanan ke kantor memakan 2 – 3 jam? Ah bukannya itu soal biasa, makanan sehari-hari warganya bukan?
Masalah kemacetan di ibukota ini sudah menjadi pekerjaan rumah bagi gubernur Jakarta dari waktu ke waktu. Masalah yang sulit sekali diselesaikan. Mobil, motor, bis, angkot, truk, dan kendaraan lainnya yang tumpah ruah di jalan tidak sepadan dengan kapasitas jalannya. Bayangkan saja, 8.5 juta penduduk ada di kota ini. Dan jumlah itu membengkak di siang hari akibat para penglaju yang datang bekerja dari daerah lingkar luar Jakarta.
Penyebab kemacetan itu banyak sekali. Arus padat di jam pergi dan pulang kerja, lampu lalu lintas yang tidak berfungsi, kecelakaan lalu lintas, pembenahan jalan (baik penyempitan atau pelebaran jalan, dua-duanya membuat jalanan bertambah macet), banjir, kampanye Pemilu dengan pengerahan massa besar-besaran, dan sederetan penyebab lainnya.
Namun, ada 2 penyebab yang saya unggulkan sebagai nominator penyebab kemacetan yang paling menyebalkan hati saya.
Si Raja Jalan
Bis kota yang ugal-ugalan. Si raja jalan yang nekad, demikian saya menyebutnya. Mereka ini melaju seenak hatinya dan berhenti seenak perutnya. Berebutan mengambil dan menurunkan penumpang tepat di tengah-tengah jalan, itu kebiasaan mereka. Mengambil jalan yang berada di bahu jalan, menghegemoni jalan yang diperuntukkan untuk transjakarta, melintang di tengah jalan (berhenti dalam posisi miring dengan kecondongan sempurna) dalam rangka menyalip kendaraan di sekitarnya, meraung-raung dengan keras dan mengeluarkan kepulan asap hitam dari knalpotnya, sampai dengan berputar balik arah dengan cara menaiki batas jalan, itu semua keahlian mereka. Tidak perlu kaget dengan hal ini.
Mereka tidak akan pernah berhenti beraksi demikian sampai dengan ada pengaturan yang proporsional pada transportasi umum ini. Sejauh ini tidak pernah ada sanksi yang berat jika mereka melanggar peraturan lalu lintas. Jika mereka melanggar, polisi menangkap dan mendenda. Denda tersebut besarnya terbilang kecil jika dibandingkan dengan denda untuk mobil pribadi, tapi buat mereka sebenarnya cukup mengurangi jatah setoran harian. Tapi apa yang terjadi setelahnya? Mereka tancap gas lagi, memaki-maki sang polisi, dan kembali melakukan aksi mereka. Mereka mencari jumlah setoran yang hilang dengan cara yang sama. Bahkan harus lebih lagi aksinya agar bisa mencari penumpang lebih banyak sehingga setoran tak hanya balik modal, tapi harus menyisa untuk uang rokok atau kebutuhan rumah tangga mereka.
Jika si raja jalan ini bersenggolan dengan mobil pribadi, yaah si pemilik mobil pribadi terpaksa hanya bisa mengelus-elus dada. Atau jika emosi sedikit tersulut, paling mentok yang bisa dilakukan adalah memaki-maki sang supir dan kondekturnya sambil sudah mulai membayangkan akan merogoh uang berapa banyak untuk memperbaiki mobilnya itu. Tak bisa berbuat lebih jauh. Mengharapkan mereka mengganti uang untuk mereparasi mobil? Itu sama saja dengan membuat anak-anak mereka putus sekolah; sama juga dengan mengurangi uang belanja istri mereka yang tak seberapa untuk makan keluarga mereka tiap harinya.
Si Raja Rusuh
Saya bingung harus menamai mereka apa. Beda dengan bis kota yang kondisi bisnya sudah sepatutnya mendapat perhatian oleh menteri & dinas perhubungan, si raja rusuh ini tampil memukau di jalan. Biasanya berwarna hitam legam. Nomor plat kendaraannya tidak banyak dan biasanya berakhiran ‘RI’. Sebelum mereka melintas, kita akan melihat iring-iringan motor dan mobil polisi yang sirenenya memusingkan mata dan memekakkan telinga. Setelah mereka melintas, iring-iringan karnaval sirene ini pun masih ada juga.
Saya tak habis pikir. Isi mobil hitam tersebut paling hanya satu atau dua orang saja. Tapi korbannya? Mereka semua (termasuk saya yang seringkali mendapati kejadian ini, ugh!) harus berhenti dan mengalah. Menambah waktu macet di jalan lebih dan lebih lagi. Jumat sore minggu lalu misalnya, dalam perjalanan saya dari Jakarta selatan menuju bandara, entah ratusan atau ribuan mobil dari Gatot Subroto sampai dengan Slipi, tidak bisa masuk ke jalan tol karena jalan tol terebut harus dikosongkan atau dilengangkan karena hendak digunakan oleh Si Raja Rusuh. Pada saat-saat biasa saja, ketika tiap kendaraan bisa masuk jalan tol, Jakarta sudah macet, apalagi mereka dipaksakan semuanya berada di jalanan luar tol. Bisa membayangkan betapa sumpek dan tidak bisa bergeraknya kendaraan-kendaraan tersebut bukan?
Demi kepentingan satu atau beberapa orang di dalam mobil hitam legam itu, kepentingan banyak orang harus dikorbankan. Kita ambil contoh mereka yang akan ke bandara, hitung saja berapa orang yang jadi terlambat ke bandara karena terhambat kemacetan tersebut. Dan mungkin saja sejumlah dari mereka yang hendak ke bandara itu, mereka sudah menabung cukup keras untuk membeli tiket pesawat dan pergi karena urusan penting yang tak bisa ditunda. Oleh karena kejadian tersebut, uang hilang, kesempatan pun melayang.
Melanggar peraturan lalu lintas? Tentu saja! Jelas-jelas mereka tetap melaju di kala lampu berwarna merah.
Didenda? Jelas tidak! Lha wong polisinya ikut rombongan mereka kok. Polisi juga yang mengijinkan mereka tetap berjalan di lampu berwarna merah (dan memberhentikan kendaraan-kendaraan dari arah lain meski lampu di sana sudah berwarna hijau).
Disenggol kendaraan lain? Mana bisa! Rombongan polisi yang mengawalnya itu jelas memberikan jarak pada kendaraan-kendaraan di sampingnya. Jika ada kesempatan, saya pengen banget bisa ‘mengenalkan’ atau menyentuhkan mobil saya dengan mobil mereka 🙂 (vandalisme mode on nih jadinya, hehehe)
Pemenang
Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan akibat-akibat yang disebabkan oleh kedua nominator di atas, saya menobatkan Si Raja Rusuh sebagai pemenang untuk kategori Si Biang Kerok Kemacetan Jakarta!!
Hal ini terjadi karena setelah saya pikir-pikir, Si Raja Jalan setidaknya punya kelebihan khusus. Mereka membantu menyehatkan jantung para penumpangnya, memacu adrenalin, dan memberikan kesempatan pada mereka yang malas ke Dufan dengan menyediakan wahana seru nan menantang yang tak kalah dengan Halilintar atau Tornado 😀
Epilog
Si Raja Rusuh seringkali disebut wakil rakyat atau pengabdi masyarakat. Saya kok suka mulas mendengar sebutan itu. Mereka jelas-jelas tidak mencerminkan hal tersebut. Jika tidak pernah merasakan apa yang rakyat rasakan, bagaimana mereka bisa mewakili rakyat atau menyatakan dirinya pro-rakyat. Ini baru soal macet lho, belum soal perut dan lainnya.
- Tato - 28 February 2024
- Pandemi berakhir! - 22 July 2023
- Rutinitas Baru - 19 June 2023
ralat…penduduk Jakarta 12 juta kalo siang, dan kalo malam 10 juta.
@deytri
you know the fact better than me deyt! 😀
terima kasih buat ralatnya..