‘Pijat’ vs ‘Pijat Plus-Plus’

pijat

Senang dipijat? Kalau begitu sama donnkk dengan saya!!

Saya yakin, banyak dari kita yang senang dipijat. Kalau tidak, tak mungkin ada panti pijat, tukang pijat keliling, dukun pijat bayi, juga salon & spa yang menyediakan fasilitas pijat yang kini kian menjamur (orang lebih senang menyebutnya ‘massage’, katanya lebih keren?!). Pijat itu sendiri diminati karena punya banyak fungsi. Utamanya adalah untuk kesehatan, yakni melancarkan peredaran darah, mengendurkan otot yang kaku, dst.

Setelah pulang dari Jogja kemarin, saya letih sekali. Pegal-pegal seluruh badan ini. Pasalnya, saya & beberapa kawan pergi ke Puncak Suroloyo, Kulonprogo. Untuk mendapatkan keindahan kota magelang dari atas (Candi Borobudur juga kelihatan loh dari sana), ratusan anak tangga harus didaki. Oleh karena tubuh ini jarang dilatih dengan olahraga, perjalanan menanjak rasanya begitu menyiksa betis dan paha. Nafas pun  tersenggal-senggal tak karuan. Keesokannya, sesampainya di Jakarta, saya sudah harus bekerja dari pagi sampai malam di kantor. Kaki rasanya sudah mau copot di hari itu.

Pijat menjadi pilihan saya dalam mengatasi kondisi itu. Saya langsung terbayang-bayang “Kaki Plus” di Jogja, tempat pijat paling cihuy buat saya, harganya murah & rasanya manttaaabbb. Nah di Jakarta? Pengetahuan saya terbatas akan pijat enak di sini. Yang saya tau di Pluit, tapi jauh banget dari tempat saya berada. Akhirnya saya memilih untuk menelepon salah satu Pijat Kesehatan Keluarga “XX” – Layanan 24 jam, yang selebarannya sering dibagi-bagi di kost saya. Lumayan, pikir saya. Tanpa perlu pergi ke luar dan bermacet-macet ria, saya bisa mendapatkan yang saya butuhkan. Harganya pun termasuk murah dibanding pijat yang di salon & spa.

Singkat cerita, saya pun dipijat, wuenaaakkkkk tenannnn 😉 Nah, dalam 1.5jam saya dipijat, berceritalah Si Mbak Pijat (kita sebut saja Mbak Tini, bukan nama sebenarnya, namun ini kisah sebenarnya):

“Saya senang mbak kalau diminta bos saya untuk tugas pijat ke kost-kostan, apalagi yang panggil perempuan. Meski malam hari, tenang rasanya hati ini. Kalau yang manggil laki-laki, di atas jam 11 malam, wah saya biasanya was-was. Terutama kalau dapat tugas untuk ke orang  India, Arab, Jepang, Filipina, wah saya ngeri, Mbak. Mereka suka ga sopan. Kalau bule sih masih agak sopan.

Mereka berpikiran pijat yang saya lakukan adalah pijat plus-plus. Jadi ketika saya datang untuk memijat, kelakuan mereka aneh-aneh. Mereka melepas seluruh pakaian, saya minta mereka telungkup, eh maunya terlentang, lalu memasang film biru dan meminta saya melakukan lebih dari sekedar pijat.

Saya biasanya menjelaskan pada mereka bahwa saya ini datang untuk ‘pijat beneran’. Saya ini loh kukunya tidak panjang-panjang, tubuh saya gemuk, saya juga sudah berusia 55 tahun (meskipun jika melihat penampilannya, kita akan berpikir Mbak Tini berusia 35-40tahun)

Beberapa dari mereka, meskipun sudah saya jelaskan, tetap saja memaksa dengan menawarkan bayaran jauh lebih besar. Duh, kalau kejadiannya kayak begini, saya biasanya pura-pura minta ijin ke kamar mandi, kemudian saya kabur. Buat saya mbak, hasil sedikit tidak mengapa asalkan halal.

Menolak untuk pergi tugas? Saya tidak bisa menolak bos saya, mbak. Saya kan ikut dia di sini. Saya juga bisanya cuma pijat. Maunya sih saya buka tempat pijat sendiri, yang benar-benar untuk pijat. Tapi saya SD saja tidak lulus, saya juga ga punya banyak uang. Saya dari kampung mbak, aslinya Ungaran. Anak saya tinggal di situ, sama neneknya. Saya sudah cerai dengan bapaknya, sudah lama. Habis bapaknya suka main perempuan, saya tidak tahan”

Ya, itulah sekelumit cerita dari Mbak Tini malam itu. Miris rasanya hati saya mendengar cerita dari Mbak Tini yang benar-benar ingin bekerja dengan baik di dunia pijat-memijat. Citra pekerja pijat dan panti pijat dari dulu memang identik dengan dunia prostitusi.

Ada tempat-tempat pijat yang embel-embelnya ‘sehat’, ‘bersih’, ‘keluarga’, namun di dalamnya banyak kemesuman terjadi. Tapi, banyak juga tempat pijat yang meskipun embel-embelnya ‘plus’ seperti tempat pijat favorit saya di jogja, namun dapat saya garansi ‘kebersihan’nya (karena maksud ‘plus’ pada kata ‘kaki-plus’ di sini adalah pijat kaki, plus tangan, plus punggung J)

Melihat keadaan seperti ini, saya sangat berharap adanya pemisahan yang jelas antara dunia pijat-memijat yang saya cintai ini dengan dunia pijat plus-plus atau prostitusi. Tidak, saya tidak akan berbicara banyak tentang dunia prostitusi kali ini. Itu topik yang lain lagi.

Saat ini, saya hanya berharap pemerintah punya kebijakan yang bijaksana untuk dunia pijat-memijat ini, jangan sampai mereka yang benar-benar ingin bekerja memijat dengan tujuan mulia yakni menyehatkan konsumen, malah menjadi objek penderita karena konsumennya mesum.

Sedikit tentang kebijakan pemerintah, saya tidak setuju jika caranya seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kota Batu Malang yang mewajibkan pegawai perempuan di panti-panti pijat Kota Batu menggunakan gembok pada pakaian dalamnya guna mencegah tindakan tak patut dari konsumen. (Mengapa bukan sebaliknya ya: tangan dan pakaian dalam konsumennya yang digembok, misalnya, hehehe.  Namun dua cara tersebut, tetaplah tidak bijaksana).

CCTV yang dapat dipantau oleh kantor tempat pijat mungkin bisa menjadi alternatif. Atau ruang pijat bersama yang lebih terbuka (hanya disekat oleh kain atau sekat separuh ruangan. Atau kebijakan lain yang tentunya pemerintah bisa memikirkannya karena harusnya pemerintah jauh lebih pintar dari saya.

Saya juga berharap pada para pemilik jasa pijat untuk tidak membuka jasa pijat tersebut 24 jam. Kasihan bukan para pekerja Anda. Bagi manusia normal pada umumnya, malam sampai pagi  adalah jam biologis untuk istirahat, bukan bekerja.

Terakhir, saya berharap pada para pembaca untuk membedakan para pekerja pijat dan para pekerja plus-plus. Mereka berbeda loh. Memang sih ada kesamaannya. Keduanya menghasilkan tubuh yang lebih rileks. Tapi perbedaannya, setelah dipijat beneran, badan segar, hati pun tentram. Tapi pijat plus-plus, badan boleh segar, tapi hati? 😀


virtri
Latest posts by virtri (see all)

3 thoughts on “‘Pijat’ vs ‘Pijat Plus-Plus’

Leave a Reply to Jauhari Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.